Header Ads

Header ADS

Pelajaran Toleransi Dari Jaman Sunan Kudus

Pelajaran Toleransi Dari Jaman Sunan Kudus

Oleh : Sri Subekti Astadi


Komplek Menara Kudus (c) dokumen Sri Subekti Astadi

Toleransi yang sekarang sedang marak digembar-gemborkan sebenarnya sudah ada sejak jaman dahulu kala. Sejak agama Islam masuk ke tanah Jawa dibawa oleh para Walisongo. Tanpa ada toleransi mungkin agak susah menyebarkan agama Islam di  tanah Jawa yang sebelumnya sudah menganut agama atau kepercayaan lain, seperti agama Hindu, Budha, atau kepercayaan setempat.

Demikian pula yang dialami oleh Sunan Kudus dalam membawa dan menyebarkan Islam di daerah sekitar Kudus, karena pada waktu itu penduduk Kudus kebanyakan menganut agama Hindu. Sunan Kudus tidak memaksakan budaya setempat yang sudah ada untuk dihilangkan begitu saja. Namun tetap dihargai dan diteruskan tradisinya.

Bukti toleransi yang diwariskan oleh Sunan Kudus sampai sekarang masih bisa dilihat, bahkan oleh masyarakat Kudus, masih dipegang kuat.

Kita lihat saja bangunan Menara Kudus, yang merupakan  Masjid warisan dari Sunan Kudus. Bentuk bangunan masjid, mulai dari pintu gerbang, menara dan bagian dalamnya menyerupai bagunan candi, yang merupakan tempat pemujaan agama Hindu. Dengan demikian umat agama Hindu yang merupakan agama masyarakat Kudus saat itu merasa tidak asing lagi dengan bangunan candi yang telah berfungsi sebagai masjid. Bentuk toleransi lain terhadap agama Budha diwujudkan dalam padasan tempat berwundhu terdapat 8 arca Budha, yang sesuai ajaran Budha Delapan Jalan Kebenaran (Asta Sanghika Marga).

Menara Kudus Tampak Belakang (c) dokumen Sri Subekti Astadi

Menara Kudus yang mempunyai tinggi 18 meter, dengan ukuran dasar 10 x 10 meter ini,dihiasi dengan Ornamen Keramik  berjumlah 32 buah, yang menandakan adanya merupakan pengaruh Tiongkok, karena dipercaya Sunan Kudus masih keturunan Tiongwa.
Budaya Jawa digambarkan dalam empat soko guru, atau empat tiang masjid,  penyagga dari seluruh bangunan Masjid , merupakan filosofi  Jawa yang juga terdapat pada rumah-rumah Joglo asli Kudus.

Toleransi dalam menghormati agama Hindu  dengan melarang penyembelihan sapi bagi warga Kudus, karena sapi merupakan salah satu hewan yg dewakan oleh umat Hindu. Anjuran Sunan Kudus soal pelarangan penyembelihan sapi masih dipegang samapai sekarang oleh masyarakat Kudus, dengan menggantinya dengan kerbau. Oleh sebab itu kebanyakan makanan khas Kudus, berbahan dasar daging Kerbau. Seperti Sate Kerbau, Soto Kerbau dan Nasi Pindang Kerbau.

Toleransi beragama yang diajarkan Sunan Kudus, juga adanya bangunan Klenteng Hok Ling Bio yang letaknya tidak jauh dari Masjid Menara Kudus. Yang menandakan Islam dan Tiongwa bisa hidup berdampingan, tanpa merendahkan satu dengan yang lainnya.

Klenteng di Dekat Komplek Menara Kudus (c) dokumen Sri Subekti Astadi

Guru dari Sunan Kudus sendiri merupakan ulama Cina yang bernama Kyai Telingsing. Beliaulah sebenarnya yang menyebarkan agama Islam di Kudus untuk pertama kalinya. Ayang Kyai Telingsing bernama Sunan Sungging yang berasal dari Sungginan Kudus, kemudian menikah dengan wanita Tiongkok dan lahirlah Kyai Telingsing yang menyebarkan agama Islam pertama kali di Kudus.

Makam Kyai Telingsing sendiri terletak di sebelah selatan Menara Kudus, tepatnya di daerah sunggingan, jalan Kyai Telingsing Kudus.

Sampai sekarang masyarakat Kudus sudah terbiasa hidup berdampingan antar umat beragama. Saling menghargai dan saling rukun dalam berdagang. Seperti yang terdapat dalam filosofi masyarakat Kudus, yaitu Gusjigang atau kepanjangan dari Bagus, Ngaji Dagang. Artinya masyarakat Kudus, harus menjadikan diri dan wilayahnya bagus, baik, indah, namun harus tetap Ngaji, atau berpegang teguh pada agama dan juga haus pintar berdagang, yang menjadi profesi sebagian masyarakat Kudus. Karena berdagang merupakan pekerjaan yang baik bila dilakukan dengan cara yang baik, perhitungan yang baik dan jujur. Dalam berdagang masyarakat Kudus, tentu berhubungan antar entis , antar agama dan antar jenjang sosial. Untuk itu toleransi harus dijaga agar Gusjigang tetap bisa dilaksanakan.

Meskipun bagus, harus pinter ngaji dan pandai berdagang, tetapi kalau lebih pintar jangan melukai , kalau bisa cepat jangan mendahului, kalau  lebih ampuh jangan membunuh. Harus tetap memegang tegus toleransi dan kebinekaan. Itulah yang menjadi filosofi masyarakat Kudus dalam bermasyarakat dan berbangsa.  Semoga apa yang sudah dilakoni masyarakat Kudus bisa menginspirasi masyarakat Indonesia lainnya dalam bertoleransi.


Kudus, 25 September 2018


No comments

Powered by Blogger.