Header Ads

Header ADS

Perempuan yang Kehilangan Teras


Perempuan yang Kehilangan Teras

Cerpen Jimat Kalimasadha

Ia merasakan betapa waktu bagaikan angin beliung, berputar-putar, menderu-deru, lalu melemparkan dirinya di atas batu-batuan terjal di lereng bukit yang setiap menjelang senja ia tatap dengan perasaan sendu hingga meneteskan air mata. Kini ia menyadari betapa kebaikan tak selalu indah untuk dikenang.
“Pram, kau bilang ini demi kebenaran? Tapi, bagaimana bisa kau bicara soal kebenaran, jika kau sendiri sudah tidak bisa merasakan kebenaran itu!”
Kalimat itu mengeras dalam dadanya, seperti batu-batu terjal di lereng bukit sebelah barat rumahnya. Ia ingin mengucapkan kata-kata itu di depan mata Pram sambil menunjuk-nunjukkan tangannya. Tapi mulutnya tak bisa mengeluarkan suara, bibirnya tak bisa digerakkan.
Ia merasa telah menanam kebaikan dengan harapan kelak akan berbuah manis dan berbau harum. Tapi nyatanya, kebaikan itu seperti tanah bukit yang mudah lumer lantaran  air hujan;  longsor dibawa banjir bersama-sama dengan sampah dan bangkai-bangkai kodok yang berbau anyir. Matanya menatap lurus punggung bukit itu sambil merasakan serat-serat cahaya terakhir matahari senja.
“Akhirnya semua yang tua memang harus menyerah. Tapi, kenapa kau tidak mempunyai kesabaran barang sebentar agar aku bisa memuaskan diri mengenang kebaikan yang menyakitkan ini,” gumamnya. “Bahkan sekedar untuk mengenangnya….”
Dalam ruang ingatannya  berkelebatan gambar-gambar masa lalu, buram, dan purba. Meski demikian, gambar-gambar itu masih sangat amat jelas, bergerak, meloncat-loncat lengkap dengan emosi dan perasaan. Peristiwa-peristiwa melintas dalam kenangannya, kadang hitam putih, kadang juga berwarna seperti film tua yang diputar kembali.
Musim demi musim berganti, meluruh, dan berlarian dan sampailah pada suatu ketika musim-musim itu berlalu tanpa aturan yang jelas. Bukit sebelah rumah yang ketika itu masih hijau rimbun oleh pohon sonokeling dan mahoni, kini meranggas tinggal batu-batu hitam seperti tulang dada yang menonjol.
“Kau masih umur dua tahun, Pram,” kenang perempuan tua itu. “Ketika itu ayahmu meninggalkan kamu dan ibumu. Ayahmu berselingkuh dengan perempuan dari desa Wuwur Brang Wetan. Bertahun-tahun ayahmu tidak pulang. Ibumu tidak kuat menanggung sakit hati. Lalu ia juga meninggalkan dirimu, pergi mencari laki-laki lain sebagai pelarian dari dendamnya karena sakit hati. Beberapa orang mengatakan ibumu menjadi salah satu penghuni gubuk-gubuk liar di dekat Pasar Wage. Ibumu pulang setelah kecantikannya tidak bisa ia jajakan. Setelah apa-apa yang ada pada tubuhnya sudah tidak bisa ia jual. Ibumu akhirnya pulang, tetapi kaki kirinya sudah tidak bisa berjalan normal karena digerogoti raja singa dan gula. Bau anyir sering menyeruak dari dalam dasternya.”
Perempuan tua itu menarik-narik hidungnya, bau anyir tubuh almarhum kakak iparnya masih sangat jelas tercium meski peristiwa itu sudah 43 tahun berlalu. “Aku sendiri yang merawatmu. Aku sering menggendongmu sambil memetik jagung di ladang. Kau tak punya siapa pun yang bersedia merawatmu, bahkan suamiku yang tak lain adalah adik kandung ibumu tak mau peduli denganmu,” ucapnya, tapi kalimat itu tak pernah terdengar, kecuali hanya bibirnya yang bergerak-gerak kecil. Dada perempuan itu semakin sesak oleh emosi perasaannya. Ya, dialah yang menyuapi, menggendong, dan menidurkan Pram kecil di atas selendang yang diikatkan pada pohon jambu setiap siang.  Angin mendesah lembut, pelan-pelan menidurkan anak laki-laki bertubuh gempal itu. Kenangan itu begitu mempesona, tapi terasa sakit berlipat-lipat.
“Masih ingatkah kamu, Pram?” kenang perempuan tua itu lagi. Tapi, ia yakin Pram belum bisa mengingatnya. “Tiga tahun sejak pulangnya ibumu, ayahmu tiba-tiba datang mengetuk pintu. Tubuhnya kurus, hitam, dan tulang-tulangnya menonjol seperti batu-batu bukit sebelah itu. Tak hanya tulang-tulang yang menonjol hitam, paru-parunya juga menghitam dan riak busuk sering keluar dari dalam dadanya.”
Suami istri itu, bagaimanapun, tidak bisa saling menolak dan tidak bisa saling menerima. Mereka hanya bisa menyambung hidupnya masing-masing. Mereka hanya bisa saling memandang dalam penderitaan.
“Mereka tinggal di rumah ini bersama kita. Dua penyakit: raja singa dan paru-paru; bau anyir dan riak busuk; heem, adakah kehidupan yang lebih hitam dari perjalanan hidup ayah dan ibumu?” dada perempuan itu semakin sesak oleh perasaan muak.
Ibu Pram meninggal dunia ketika bocah itu menginjak usia delapan. Penyakit yang memalukan itu telah menginfeksi livernya. Seminggu berikutnya, ayahnya menyusul kematian ibunya. Barangkali memang seperti itulah angin dan musim mengalir. Angin berpindah arah dan musim berganti. Perjalanan nasib Dewi dan Harjo, ibu dan ayah Pram itu, tak lebih sekedar menjalani kutukan belaka.  Tak ada cara yang lebih pantas untuk sekedar menjalani hidup secara normal.
“Seandainya ibu dan ayahmu bukan kakak iparku. Seandainya kau bukan keponakanku dan satu-satunya anak laki-laki yang lahir dari garis keturunan keluarga kita.  Aku tak akan pernah mengenang kebaikan yang menyakitkan ini!” rutuknya dengan suara yang tak terucapkan. “Hanya karena tanah sejengkal dan rumah sepetak dengan bekas aroma anyir raja singa ibumu dan bau busuk riak ayahmu, kau tega ingin mengusirku dari rumah ini?”
Bibir tua itu bergerak-gerak, gigi-giginya beradu, tangan kiri lemah itu terangkat beberapa senti. Dan sekujur anggota tubuh kirinya yang tak lagi memiliki kekuatan itu bergetar. Air mata perempuan tua itu menetes pelan dan hangat berkelok-kelok di lipatan keriput wajahnya.
***
Angin yang berganti, musim yang berselisih, dan kebaikan yang tak selalu mudah untuk diingat memang bukanlah barang bukti yang bisa digunakan sebagai saksi.  Tak pernah ada catatan kebaikan yang dibubuhi tanda tangan dan materai. Tapi, jika tidak ada kebaikan yang mengalir tanpa pernah berhenti, mana mungkin Pram bisa menjadi orang seperti sekarang ini.
 “Aku tak tahu apakah aku harus menyesal atau bersyukur. Doaku sudah terkabul karena Pram sudah menjadi orang,” perempuan itu pernah memamerkan keponakannya itu di depan para tetangga.
Sayang. Pram hanya mengerti hukum dan hanya mengerti barang bukti sebatas tanda tangan dan selembar materai. Kebaikan hati dan kebenaran sudah tidak diakuinya sebagai barang bukti. Perempuan itu tersenyum dengan menarik sedikit sudut bibirnya. Begitu mudahnya Pram meninggalkan sejarah hidupnya. Padahal, bau anyir dan aroma busuk penyakit orang tuanya –empat puluh tiga tahun yang lalu-- masih tercium hangat dalam kenangan. Ia sadar usianya mulai tua. Tak ada gunanya melawan Pram. Ia hanya ingin menyelesaikan lembaran terakhir dari bagian akhir takdirnya.
Pram tak pernah tahu, karena ia tidak memiliki bukti tertulis atas kebaikan Bu Liknya. Waktu itu ia memang masih kecil dan sekarang ia telah menjadi orang.
“Sebegitunya kau, Pram,” perempuan itu menahan marah. “Aku masih ingat benar. Tanah halaman rumah ini dulunya sudah dibeli oleh Pak Likmu seharga lima ratus ribu. Pembayaran pertama digunakan oleh ibumu untuk biaya minggat. Pembayaran kedua digunakan untuk membiayai penyakit ibumu dan ayahmu untuk membeli obat.”
“Mana buktinya, Bu Lik? Apakah Bu Lik Mar atau Pak Lik Mus punya surat jual belinya, mana hitam di atas putihnya?tanya Pram.
“Kami tak pernah mempermasalahkan bukti hitam di atas putih. Waktu itu semua orang di kampung ini tak pernah mempermasalahkan surat jual beli. Semua orang tahu dan percaya pada tangan kanan yang menerima uang dan tangan kiri melepaskan barang yang dijualnya tanpa perlu surat jual beli. Bayan Karmo jadi saksinya.”
“Selama tidak ada bukti, separoh tanah ini adalah hak saya. Tanah ini akan saya sertifikatkan secepatnya. Kalau Bu Lik Mar tidak terima, mari kita tempuh jalur hukum.”
“Lalu Nur, keponakanmu, mau kau suruh tinggal di mana?”
“Itu urusan Nur. Terserah. Bukan urusan saya.”
Selama dua tahun jalur hukum itu benar-benar ditempuh oleh Pram. Dengan koneksi teman-temannya pengacara, kasus dimenangkan oleh Pram dan tanah warisan tersebut dibagi dua dan separohnya menjadi hak milik Pram. Rumah Bu Lik Mar yang dihuni bersama Nur, anak bungsunya, harus kehilangan terasnya. Teras dan seperempat dari ruang tamunya harus dibongkar karena masuk bagian Pram. Sebenarnya bukan kehilangan teras yang membuatnya seperti ini, tapi rasa sakit yang tak berkesudahan: betapa kebaikan tak selalu indah untuk di kenang.
“Tinggalkan saja rumah ini, Bu. Kita bisa membeli perumahan yang jaraknya jauh dari kampung ini,” ajak Nur. “Tinggalkan semua. Tanah, teras dan semua yang ada di rumah ini sekarang sudah tidak penting lagi.”
“Tidak, Nur. Ini rumah yang dibangun ayahmu untuk kita. Aku tidak bisa melupakan ketika ayahmu terpeleset di bandar teras itu hanya karena ingin menangkap sebuah paku yang jatuh. Jantungku hampir copot waktu itu, tapi ayahmu malah nyengir…” tukas perempuan itu.
Mengenang hal-hal kecil seringkali membuat air matanya menggenang. “Aku ingin tinggal di rumah ini sampai tak bisa berbicara, sekalipun rumah ini tanpa teras. Aku hanya ingin mengenang ayahmu, tanpa kata-kata.”
Dan, seperti mimpi belaka. Esok paginya perempuan itu terpeleset di teras, persis di bawah kayu bandar tempat suaminya dulu hampir jatuh. Semenjak itu ia tidak bisa berbicara, tidak bisa menggerakan bibirnya, tidak bisa mengangkat tangan dan kaki dan semua anggota badan sebelah kiri. Seandainya ia telah memaafkan Pram, aku yakin itu bukan untuk Pram, melainkan untuk kebaikan dirinya sendiri.
Ia selalu duduk di emper sebelah barat, di kursi roda, dan menatap punggung bukit setiap menjelang senja seperti mengenang sesuatu entah apa. ***

Jimat Kalimasadha, tinggal di Kudus, beraktivitas di Keluarga Penulis Kudus (KPK). Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit berjudul “Bom di Ruang Keluarga”.

1 comment:

Powered by Blogger.